Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kotagede Yogyakarta, Jadi Saksi Kerajaan Mataram

 


Yogyakarta - Situs bekas bangunan Kerajaan Mataram Islam di Kotagede Yogyakarta belum ditemukan. Letak persis bangunan kerajaan yang berkuasa pada abang ke-16 itu hingga kini masih menjadi teka-teki.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat (15/7/2021), Keraton Kerajaan Mataram Islam yang pertama berada di daerah yang saat ini merupakan Kecamatan Kotagede, Yogyakarta.

Kawasan Kotagede dulunya merupakan hutan mentaok. Wilayah ini diberikan Sultan Pajang saat itu, Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575.

Adapun, Ki Ageng Pemanagan berhasil menumpas pemberontakan Bupati Jipang, Arya Panangsang tahun 1549. Senjata untuk mengalahkan Arya Penangsang, yakni Tombak Kyai Pleret kini masih ada di Keraton Yogyakarta.

Mataram Islam kemudian resmi berdiri pada tahun 1586 dengan raja pertama yakni Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.

Kondisi ini berbeda dengan bangunan Kerajaan Mataram lain di berbagai daerah. Kerajaan Mataram sempat dipindahkan ke Karta pada 1613-1647, lalu ke Pleret di tahun 1647-1681. Baik di Kerto maupun Pleret, terdapat jejak kedigdayaan Kerajaan Mataram Islam.

David Nugroho menceritakan Kerajaan Mataram Islam di Kotagede berdiri di bekas hutan yang bernama Alas Mentaok. Nama mentaok diambil dari jenis tanaman yang kini langka. Di kompleks makam dan masjid Kotagede terdapat satu pohon mentaok. Beberapa tanaman mentaok lain ditanam untuk dilestarikan di depan Pasar Kotagede.

Pohonn mentaok begitu tinggi. Daunnya agak lebar seperti daun salam. Konon, nama Mataram diambil dari kata mentaok arum atau mentaok yang harum. Kemudian menjadi Mentaram, lalu Mataram.

Kembali ke cerita Alas Mentaok yang menjadi asal usul titik Kerajaan Mataram Islam. Alas Mentaok adalah hadiah dari Raja Pajang Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pemanahan yang telah mengalahkan musuh Kerajaan Pajang, Arya Penangsang. Namun saat tiba di Alas Mentaok untuk mendirikan padepokan, sudah ada orang lain yang menempati yaitu Ki Jayaprana.

Ki Jayaprana menolak pergi dari Alas Mentaok, kecuali Ki Ageng Pemanahan bisa memindahkannya dengan cara digendong. Dua orang yang sama-sama sakti itu kemudian saling beradu kekuatan. "Ki Ageng Pemanahan hanya mampu menggendong Ki Jayaprana sejauh sekitar 500 meter saja," ucap David Nugroho.

Di tempat itulah Ki Jayaprana tinggal dan dikenal sebagai Kampung Jayapranan. Adapun Ki Ageng Pemanahan mendirikan padepokan yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin raja pertama, yakni anaknya sendiri, Panembahan Senopati.

Kawasan kerajaan Mataram Islam itu sekarang bernama Kampung Ndalem yang berada di selatan Pasar Kotagede. Di sana, yang tersisa hanya sebagian benteng Cepuri dan batu andesit yang disebut Watu Gilang. Batu itu berwarna hitam berbentuk kotak ukuran 2 x 2 meter dengan ketebalan 30 sentimeter dan disimpan di dalam bangunan kecil di tengah jalan Kampung Ndalem. Tempat ini diyakini sebagai singgasana Panembahan Senopati.

Pada permukaan Watu Gilang terdapat ukiran berupa tulisan latin dengan huruf besar dalam empat bahasa. Istri juru kunci Situs Watu Gilang, Suheryanti menunjukkan ukiran tulisan yang sudah terlihat rusak itu. Bahasa Latin “ITA MOVETUR MUNDUS”, bahasa Prancis “AINSI VA LE MONDE”, bahasa Belanda “ZOO GAT DE WERELD”, dan bahasa Italia “COSI VAN IL MONDU”.

Keempat kalimat itu bermakna “demikianlah perubahan dunia”. Ditulis dengan bentuk melingkar. Bagian tengahnya ada tulisan Latin “AD AETERNAM SORTIS INFELICIS” yang artinya untuk memperingati nasib yang kurang baik. Juga ada gambar segitatiga-segitiga yang berjejeran seperti mata gergaji.

Yang menarik, ada satu tepian Watu Gilang yang berbentuk cekung. Konon tepian batu itu menjadi cekung karena Panembahan Senopati membenturkan kepala menantunya sendiri, Ki Ageng Mangir. Suheryanti menceritakan, Ki Ageng Mangir juga seorang yang sakti namun memberontak terhadap Kerajaan Mataram, yang notabene dipimpin oleh ayah mertuanya.

Panembahan Senopati sengaja menikahnya putrinya, Ni Pembayun dengan Ki Ageng Mangir untuk dapat menaklukkannya. Saat Ki Ageng Mangir menghadap untuk sungkem kepada ayah mertua, Panembahan Senopati menggunakan kesempatan ini dengan membenturkan kepala menantunya itu ke singgasananya, sampai tewas. "Panembahan Senopati menganggap menantunya musuh sekaligus anak,” kata Suheryanti

Lantas di manakah posisi Kerajaan Mataram Islam berada? David Nugroho menduga ada di lahan yang kini digunakan sebagai makam keturunan Hamengku Buwono VIII yang disebut Makam Hastorenggo. Lokasinya berseberangan dengan bangunan yang digunakan untuk menyimpan watu gilang.

Sejak keraton pindah ke Karta, tanah bekas keraton di Kotagede tak bertuan. “Orang menyebutnya siti sangar alias tanah angker. Tak ada siapapun yang berani memakai tanah itu,” kata David. Lantaran dianggap angker, tanah itu kemudian dijadikan pemakaman.

Posting Komentar untuk "Kotagede Yogyakarta, Jadi Saksi Kerajaan Mataram"